Veritas,Jepara — Pagi itu, Senin 1 Desember 2025, Desa Kedungmalang seperti biasa terbangun oleh suara kapal yang disiapkan untuk melaut. Namun di sebuah sudut desa pesisir itu, atmosfernya tak sama. Bau solar menyengat menusuk hidung bahkan sebelum tim investigasi Veritas Indonesia News menurunkan peralatan.
Rumah sederhana yang kami kunjungi tampak biasa, tetapi halaman depannya memamerkan hal yang tidak biasa: puluhan jeriken solar tersusun rapi, seolah menjadi gudang kecil yang beroperasi tanpa papan nama, tanpa izin, dan tanpa pengawasan.

Seorang lelaki tua—yang belakangan diketahui merupakan mertua dari seorang pria berinisial S—menyambut tim. Ketika ditanya isi jeriken, ia sempat menyebut “bensin.” Namun bau solar terlalu menyolok untuk ditutupi.
Tak lama, kebohongan awalnya runtuh.
“Solar itu, mas. Punya menantu saya, S,” ujarnya pelan. Dari keterangannya, solar tersebut dibeli dari SPDN dengan harga Rp 6.800/liter, lalu dijual kembali kepada nelayan dengan harga Rp 7.200/liter. Selisih kecil yang tampak sepele tetapi menjadi pintu masuk praktik penyelewengan BBM bersubsidi.
Yang menarik, sang kakek juga menyebut adanya “uang tambahan” yang diberikan kepada petugas pengisian agar pembelian solar berjalan lancar.
“Kalau nggak dikasih tambah, petugas cornya ya nggak mau,” katanya tanpa ragu, menunjukkan bahwa budaya upah informal itu telah menjadi bagian dari mekanisme distribusi.
Kemunculan Nama J: Pengawas Bayangan di SPDN
Dalam percakapan yang makin mengalir, sang kakek menyebut satu nama baru: J.
Menurut penuturannya, J adalah pengawas di SPDN tempat solar itu dibeli.
Keterangan tersebut membuka lapisan baru dugaan permainan: bahwa pembelian solar menggunakan barcode resmi bisa saja dimuluskan oleh keterlibatan oknum pengawas. Jika benar, maka SPDN bukan sekadar pintu distribusi, tetapi juga tempat terjadinya permainan kuota—di mana solar subsidi bisa mengalir lebih banyak ke tangan pihak tertentu, bukan ke nelayan yang berhak.
Nama J tidak muncul sebagai pelaku langsung penimbunan, namun sebagai figur yang memiliki posisi strategis dalam jalur distribusi. Dalam kasus-kasus migas di berbagai daerah, sosok pengawas seperti ini sering menjadi simpul penting—menyalurkan kuota kepada jaringan tertentu, membiarkan jeriken keluar melebihi kapasitas, atau memberikan perlindungan informal terhadap “pemain lapangan.”
Pertemuan dengan S: Salam, Basa-Basi, dan Panggilan ke ‘Korlap’
Ketika tim hendak meninggalkan lokasi, S sendiri muncul. Tanpa banyak bicara, ia menyalami tim, berbasa-basi, lalu tiba-tiba menghubungi seseorang melalui video call.
“Korlap,” katanya, sembari menunjukkan layar ponsel.
Sikap itu menimbulkan dugaan adanya jaringan yang lebih luas—bahwa aktivitas penimbunan solar subsidi ini bukan dilakukan satu orang, melainkan bagian dari rantai yang lebih rapi.
Kelangkaan Solar di Pagi Hari: Nelayan yang Tersingkir
Beberapa nelayan di Kedungmalang yang ditemui tim mengeluhkan pola yang sama:
solar tiba-tiba habis setiap pagi, sementara malam sebelumnya ada aktivitas pembelian besar-besaran.
“Sering malam ada yang ambil, paginya kita nelayan nggak kebagian,” ujar seorang nelayan.
Solar subsidi adalah darah operasional kapal kecil. Ketika stok hilang sebelum fajar, nelayan tidak bisa melaut, atau terpaksa membeli solar non-subsidi yang harganya lebih tinggi. Situasi ini mempersempit pendapatan mereka secara signifikan.


Jejak ke Industri: Solar Subsidi yang Tersesat Jalur
Informasi lain yang diperoleh tim menyebutkan bahwa solar yang ditimbun di rumah S sering diambil oleh sebuah perusahaan transportir yang melayani distribusi solar industri. Jika benar, maka solar subsidi—yang semestinya menyelamatkan nelayan kecil—justru mengalir ke sektor industri yang sama sekali tidak berhak.
Perpindahan seperti ini adalah bentuk penyimpangan paling merugikan negara: subsidi pemerintah berpindah ke pasar komersial, sementara masyarakat kecil menerima dampaknya.
Kerangka Hukum yang Berpotensi Dilanggar
Jika temuan lapangan ini terbukti, sejumlah pasal hukum dapat menjerat para pelaku:
1. UU Migas No. 22/2001 Pasal 53 huruf b
Menyalahgunakan pengangkutan/niaga BBM bersubsidi.
Sanksi: Penjara maksimal 6 tahun, denda maksimal Rp 60 miliar.
2. Perpres 191/2014
Mengatur peruntukan solar bersubsidi secara ketat untuk nelayan kecil.
3. Larangan Penimbunan BBM Subsidi
Penyimpanan tanpa izin dalam jumlah besar dapat dikategorikan penimbunan.
4. Penyelewengan Sistem Barcode SPDN
Jika pembelian resmi dialihkan untuk dijual kembali, maka terjadi penyalahgunaan fasilitas negara.
5. Dugaan Keterlibatan Unsur Pengawas (J)
Jika pengawas terlibat dalam memuluskan alur pembelian, maka masuk dalam kategori penyertaan atau pembantuan tindak pidana migas.
Benang Merah yang Mulai Terlihat
Dari pengakuan kakek, kemunculan S, hingga disebutnya J, pola dugaan penyalahgunaan solar subsidi di Kedungmalang semakin tampak seperti sebuah rangkaian:
Pengawas → Pembeli (S) → Penimbunan → Distribusi ke Nelayan & Industri → Nelayan Kehilangan Haknya
Kedungmalang memberikan potret yang telanjang: di banyak wilayah pesisir, solar subsidi bukan lagi diperebutkan di laut, tetapi di darat, di antara jeriken-jeriken yang memenuhi halaman rumah seseorang.
Investigasi berlanjut. Hubungan tiga figur kunci—S, J, dan oknum transportir**—masih ditelusuri lebih dalam.
Pewarta : Fandin Putra
More Stories
BREAKING NEWS-DUGAAN PENYALAHGUNAAN SOLAR SUBSIDI DI JEJAKI DI KEDUNG MALANG, JEJAK NAMA PENGAWAS SPDN & PENGUSAHA SOLAR INDUSTRI MUNCUL!
Solar Subsidi Diduga Dijual Pakai Jerigen di SPBN Tubanan Jepara, Warga Tagih Tindakan Pemerintah Pusat!
Harga Pupuk Melonjak di Atas HET, Petani Bayanan Mengeluh: “Baru Sekali Ini Saya Dapat Kuota”