Veritas. Jakarta 2 Oktober 2025 – Dalam sebuah pengungkapan yang mengguncang dunia bisnis teknologi dan menyoroti kerentanan korban di tengah pesta malam, Polres Metro Tangerang Kota berhasil meringkus dua pria yang diduga terlibat dalam pembunuhan seorang wanita muda. Kejadian ini tidak hanya menampilkan elemen kekerasan fisik, tetapi juga menyingkap lapisan kelalaian medis yang fatal, diwarnai konsumsi narkotika ilegal. Berbeda dari liputan sensasional di media konvensional, analisis ini mengeksplorasi implikasi hukum lintas negara dan dinamika sosial di balik kasus semacam ini, tanpa mengabaikan fakta empiris dari penyelidikan polisi.
Pria berinisial KJH, seorang warga negara Korea Selatan berusia 40 tahun yang menjabat sebagai CEO di sebuah perusahaan teknologi, menjadi tersangka utama. Bersamanya, polisi juga membekuk RST, 35 tahun, warga Banjarnegara yang bekerja sebagai manajer di sektor swasta. Keduanya ditangkap atas dugaan pembunuhan terhadap AN, seorang wanita berusia 27 tahun asal Cimahi, yang ditemukan tewas di salah satu kamar hotel mewah di Jalan Jenderal Sudirman, Kota Tangerang.
Menurut Kapolres Metro Tangerang Kota, Kombes Pol Raden Muhammad Jauhari, peristiwa tragis ini berawal dari malam hiburan yang berujung maut. Pada malam sebelum kejadian, korban bersama kedua tersangka meninggalkan sebuah tempat hiburan malam di Jakarta Utara dalam kondisi mabuk berat akibat mengonsumsi narkotika jenis ekstasi. “Tersangka KJH membeli pil ekstasi dengan harga Rp6,3 juta untuk dikonsumsi bersama. Sebagian dikonsumsi di lokasi, sisanya dibawa ke hotel,” ungkap Jauhari dalam konferensi pers pada Rabu, 1 Oktober 2025.
Baca juga : Kemenangan Dramatis PSG atas Barcelona di Liga Champions
Setibanya di Hotel Novotel sekitar pukul 04.00 WIB, kondisi korban mulai memburuk. Ia tampak lemas dan keesokan paginya mengalami gejala parah seperti menggigil hebat serta demam tinggi. Namun, alih-alih segera mencari pertolongan medis, kedua tersangka justru mengabaikan tanda-tanda tersebut. “Korban akhirnya ditemukan dalam keadaan pucat dan tak bernyawa,” lanjut Jauhari, menekankan betapa kelalaian ini memperburuk situasi.
Pemeriksaan mendalam oleh tim forensik menguatkan adanya unsur pidana. Tes urine terhadap korban dan kedua tersangka semuanya positif mengandung ekstasi, menandakan konsumsi bersama yang disengaja. Lebih lanjut, hasil visum et repertum mengungkap bukti kekerasan: memar di beberapa bagian tubuh akibat hantaman benda tumpul, serta kerusakan pada organ dalam korban. Temuan ini tidak hanya mengindikasikan serangan fisik, tetapi juga potensi overdosis narkotika yang mempercepat kematian.
Dari perspektif akademis, kasus ini mencerminkan pola klasik dalam kriminologi urban, di mana konsumsi zat terlarang di kalangan elite bisnis sering kali berujung pada tragedi karena minimnya pengawasan dan rasa tanggung jawab. Melibatkan warga negara asing seperti KJH, perkara ini juga menimbulkan pertanyaan tentang diplomasi hukum antara Indonesia dan Korea Selatan, terutama dalam penanganan ekstradisi atau kerjasama penegakan hukum. Berbeda dari narasi media arus utama yang fokus pada sensasi, pendekatan ini menyoroti bagaimana industri teknologi—yang sering digambarkan sebagai progresif—bisa menjadi tempat persembunyian bagi perilaku destruktif.
Polisi telah menyita barang bukti yang komprehensif untuk memperkuat dakwaan, termasuk rekaman CCTV dari hotel dan sekitarnya, telepon genggam milik tersangka, paspor KJH, kartu akses kamar, pakaian korban, serta dokumen visum dan bukti pembayaran hotel. Semua ini membentuk rangkaian kronologis yang tak terbantahkan, dari pembelian narkotika hingga penemuan jenazah.
Atas perbuatan mereka, KJH dan RST dijerat dengan Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan, atau secara alternatif Pasal 359 KUHP mengenai kelalaian yang menyebabkan kematian orang lain, juncto Pasal 55 KUHP tentang turut serta dalam tindak pidana. “Ancaman hukumannya mencapai 15 tahun penjara,” tegas Jauhari, menandakan komitmen aparat untuk menegakkan keadilan tanpa pandang bulu, termasuk terhadap pelaku dari kalangan atas.
Kasus ini menjadi pengingat bagi masyarakat tentang bahaya narkotika di ruang pribadi, serta pentingnya intervensi dini dalam situasi darurat medis. Sementara penyelidikan berlanjut, publik diharapkan tetap mengikuti perkembangan melalui lensa analitis, bukan sekadar headline yang memprovokasi. Digital Justice Review akan terus memantau implikasi jangka panjang, termasuk potensi reformasi regulasi bagi WNA di sektor bisnis Indonesia.
Pewarta : Nandang