Veritas. Amami-Oshima, Jepang – Pada Rabu, 1 Oktober 2025, sebuah kapal survei China, Xiang Yang Hong 22, kembali terdeteksi melakukan aktivitas mencurigakan di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Jepang, tepatnya di perairan lepas pantai Pulau Amami-Oshima, Prefektur Kagoshima. Menurut laporan Penjaga Pantai Jepang (Japan Coast Guard/JCG), kapal tersebut terlihat menurunkan benda berbentuk pipa ke laut dalam, yang diduga terkait dengan penelitian maritim. Aktivitas ini memicu kekhawatiran di Tokyo, mengingat Jepang secara konsisten menentang penelitian laut tanpa izin di wilayah ZEE-nya.
Penjaga Pantai Jepang melaporkan bahwa kapal Xiang Yang Hong 22 terdeteksi pada pukul 06.55 waktu setempat, sekitar 395 kilometer sebelah barat Amami-Oshima. Kapal tersebut meninggalkan wilayah ZEE pada sore hari setelah aktivitasnya terpantau. Insiden ini bukan yang pertama kali terjadi. Pada Minggu dan Selasa sebelumnya, kapal yang sama juga terlihat melakukan aktivitas serupa di lokasi yang hampir identik. Dalam kedua kejadian tersebut, Xiang Yang Hong 22 meninggalkan ZEE beberapa jam setelah menerima peringatan lisan melalui radio dari Penjaga Pantai Jepang, yang meminta penghentian aktivitas tanpa izin.
Zona Ekonomi Eksklusif, sebagaimana diatur dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS), memberikan hak kepada negara pantai untuk mengelola sumber daya alam dan melakukan yurisdiksi tertentu hingga 200 mil laut dari garis pantai. Penelitian maritim di ZEE memerlukan persetujuan dari negara pantai, dalam hal ini Jepang. Aktivitas kapal China tanpa izin dianggap melanggar kedaulatan maritim Jepang, sehingga memicu protes diplomatik berulang dari Tokyo kepada Beijing.
Jepang telah secara konsisten menyuarakan keberatan atas kehadiran kapal-kapal survei China di ZEE-nya, terutama karena aktivitas ini sering kali dianggap memiliki motif strategis, seperti pemetaan dasar laut atau pengumpulan data untuk kepentingan militer. Dalam beberapa tahun terakhir, insiden serupa di wilayah perairan Asia Timur telah meningkatkan ketegangan antara kedua negara, yang juga bersitegang akibat sengketa wilayah di Laut China Timur.
Baca juga : Pemerintah Fokus pada Penggunaan Anggaran yang Tepat Sasaran Menjelang Satu Tahun Pemerintahan
Penjaga Pantai Jepang terus memantau pergerakan kapal-kapal asing di ZEE-nya dengan menggunakan kapal patroli dan sistem pengawasan maritim. Dalam insiden terbaru ini, JCG tidak melaporkan adanya konfrontasi fisik, namun peringatan lisan kembali diberikan sebagai bentuk penegasan yurisdiksi. Pemerintah Jepang, melalui Kementerian Luar Negeri, diperkirakan akan kembali melayangkan protes resmi kepada China, menuntut penghentian aktivitas tanpa izin.
Para pakar hubungan internasional menilai bahwa insiden ini mencerminkan dinamika yang lebih luas di kawasan Indo-Pasifik, di mana China terus memperluas kehadiran maritimnya. Dr. Hiroshi Tanaka, pakar keamanan maritim dari Universitas Kyoto, menyatakan, “Aktivitas kapal survei China di ZEE Jepang tidak hanya soal penelitian ilmiah, tetapi juga sinyal geopolitik. Ini menunjukkan bagaimana China menguji batas-batas hukum internasional dan respons negara tetangga.”
Dari sudut pandang hukum internasional, insiden ini menyoroti tantangan dalam penegakan UNCLOS di tengah rivalitas geopolitik. Aktivitas penelitian maritim tanpa izin dapat dianggap sebagai pelanggaran kedaulatan, tetapi kurangnya mekanisme penegakan yang tegas dalam hukum internasional sering kali membuat protes diplomatik menjadi satu-satunya respons yang layak. Sementara itu, dari perspektif strategis, data yang dikumpulkan oleh kapal survei seperti Xiang Yang Hong 22 dapat digunakan untuk berbagai tujuan, mulai dari eksplorasi sumber daya hingga pengembangan kapabilitas militer bawah laut.
Insiden ini kemungkinan akan memperumit hubungan Jepang-China, yang sudah tegang akibat isu-isu seperti sengketa Kepulauan Senkaku/Diaoyu. Jepang, yang didukung oleh aliansi keamanan dengan Amerika Serikat, mungkin akan meningkatkan patroli maritim dan kerja sama dengan negara-negara lain di kawasan, seperti anggota Quad (AS, Australia, India), untuk mengimbangi pengaruh China di Indo-Pasifik.
Sementara itu, China belum memberikan pernyataan resmi terkait insiden terbaru ini. Namun, Beijing kerap menegaskan bahwa aktivitas kapalnya berada dalam batas-batas hukum internasional dan bertujuan untuk penelitian ilmiah yang sah. Ketegangan ini menegaskan perlunya dialog bilateral yang lebih intens untuk mencegah eskalasi lebih lanjut di perairan Asia Timur.
Keberulangan insiden kapal survei China di ZEE Jepang menunjukkan tantangan dalam menjaga keseimbangan antara penegakan hukum internasional dan dinamika geopolitik. Sementara Jepang terus menegaskan hak kedaulatannya, respons China akan menjadi kunci dalam menentukan arah hubungan bilateral ke depan. Situasi ini juga menjadi pengingat akan pentingnya mekanisme multilateral untuk mengelola konflik maritim di kawasan yang semakin diperebutkan.
Pewarta : Setiawan